Pertemuan Dengan ABG Imut Pecinta BDSM
Tuesday, August 21, 2018
Malam yang gelap, tidak ada aktivitas lagi yang aku kerjakan setelah semua tugas-tugas kuliah kelar. Nonton Tv juga monoton saja, acara itu-itu aja ah bete, ngapain enaknya Hp berdering si beb, teman kampusku tlp.apalagi kalau bukan nanyain tugas dari Dosen A udah aku selesaikan belom, dasar gelo sering nyontek aku pekerjaannya tapi gak apa-apa demi teman karena kesibukannya sendiri paling lali mengerjakan materi kul setelah trima tlp. Usai utak-utik atau browsing di internet cari sohip-sohip dunia maya enak kali, mesti hanya memandang monitor tapi rasanya persahabatan tetep terjalin indah sampai aku berkenalan dengan wanita yang akan aku temui sebagai wujud kalau pertemanan ini tidak maya, Berawal dari email lalu SMS, aku berkenalan dengan Mini, panggilanku pada dominique.
Kami sepakat untuk saling bertemu di sebuah kafe, daerah atas kota Bandung. Dari penampilan awalnya aku cukup tertarik, meskipun bodinya tergolong biasa-biasa saja tapi wajahnya yang sangat cute membuatku terdiam untuk sesaat. Perawakan Mini kurang lebih tinggi 165 cm, 50 kg dengan kulit putih, rambut hitam lurus sebahu, sama-sama keturunan cina sepertiku juga dan berumur 20 tahun merupakan mahasiswa di sebuah universitas swasta di Bandung, ukuran payudaranya 34B dibalut dengan kaos ketat sungguh ideal.
Kami pun mulai mengobrol panjang di kafe tersebut dan pendek kata kami pun mulai serius tentang hubungan kami yang mungkin lain dari biasanya, yaitu kegiatan BDSM. Kuketahui juga Mini sudah tidak perawan karena pernah ML dengan cowonya yang sekarang tidak tahu ada dimana. Mini terlihat sedikit nakal dan sesuai harapanku yang sedang mendalami bidang ini. Mini menganjurkan di tempat kosnya, karena katanya dalam 2-3 hari ke depan tidak ada orang lain karena pada mudik liburan. Aku pun setuju dan berjanji besok aku akan langsung datang ke tempat kosnya.
Hari yang telah ditentukan telah datang, aku pergi menuju 711, swalayan dekat kampusku, di sana aku membeli beberapa gulung tali pramuka, jepitan jemuran 1 pack, lilin merah besar yang biasa ada di kuil-kuil 2 buah, dan beberapa minuman. Siaplah aku menuju cafe yang telah ditentukan, aku dengan perlengkapan aku di tas sudah lengkap plus belanjaan tadi. Meluncurlah aku dengan menggunakan motor bebekku ke tempat kos Mini. Aku mulai memperlahan laju motorku dan melihat alamat yang tertera di HP-ku, setelah beberapa lama kutemukan sebuah rumah tinggal yang dijadikan tempat kos.
“Biasa saja, lebih bagus kos gue”, pikirku.
Aku langsung menelepon Mini agar keluar dari tempat kosnya.
“It’s show time” dalam benakku.
Lalu aku melihat Mini keluar dengan pakaian senam yang masih basah keringat hingga membuatnya makin aduhai.
“Sori gue baru beres joging nih, masuk.., masuk”, kata Mini sambil membukakan gerbang.
Akupun mulai masuk dan celengak-celinguk melihat kos-an yang berisi 4 kamar layaknya rumah tinggal biasa.
“Beneran kaga ada sapa-sapa neh?”, tanyaku.
“Kaga ada, pembokat dah pulang dari tadi, now cuma ada lo ama gue, kapan neh mulainya?”, Jawab Mini.
Aku langsung mengeluarkan tasku dan Mini langsung ikut melihat barang yang kubawa.
“Hehe.. kok gituan aja seh, disini juga ada kaga usah repot-repot”, kata Mini sambil mengeluarkan kotak di kamarnya.
“Pake semua yang lu mau ke gue” jawabnya sambil memberikan kotak tersebut padaku.
“Wahh.., gila lo dapat dari mana semua alat ini?”, tanyaku karena baru kali ini aku melihat alat-alat penyiksaan yang biasanya hanya aku liat di internet.
“Jangan rewel, cepetan donk gue dah ga sabar lu bisa apa aja”, jawabnya.
Tanpa menjawab karena aku masih keasyikan melihat “barang-barang” yang sebagian masih tidak kuketahui fungsinya.
“OK., siplah ayo kita mulai”, jawabku.
Permainan dimulai, Mini hanya duduk melihatku meninjau tempat yang ingin aku gunakan.
“Sini lo, gue dapat tempat yang enak buat nyiksa lo”, kataku sambil tersenyum melihat lapangan basket dengan 1 tiang dengan luas 4×5 meter di ruangan tertutup belakang kos.
Aku mulai mengambil bambu bulat berukuran 1 1/2 meter dengan diameter 10 cm dan mengikat tangan Mini bersama bambu tersebut. Hasilnya tangan Mini terentang ke arah berlawanan seperti orang yang disalib. Belum puas dengan itu aku mengikat “shibari”, sehingga payudaranya tampak menonjol. Mini merasa kesakitan terlihat dari wajahnya yang mulai merah, tapi saat kutanyakan Mini menjawab
“Lanjutin aja gue nikmatin kok, jangan sungkan-sungkan gue kaga marah gue hepi kok” sambil tersenyum.
Akupun tidak tanggung-tanggung lagi langsung mengambil sepatu hak tinggi merahnya sekitar 10 cm, penjepit yang telah kubeli, ball gag di kotak Mini, dan sun block untuk kuoleskan pada kulit Mini karena rencanaku akan kujemur Mini di lapangan tersebut dalam waktu cukup lama, matahari masih cukup terik meskipun jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Setelah kuoleskan pada sekujur tubuhnya, aku memasangkan ball gag ke mulutnya.
Aku yakin Mini tidak akan bisa bersuara lagi. Kemudian sepatu tingginya untuk memberikan efek pegal dan kejang, aku mulai membuat simpul di bambu yang menempel di punggung Mini untuk digantung di tiang ring. Akhirnya Mini hanya menapak pada hak sepatu yang kecil dengan badan tergantung tanpa daya. Terakhir aku memasangkan penjepit di kedua belah puting, di ketiak, di paha, di perut, di bagian kemaluannya.
“Erghh. Hh.. Hh..”, kudengar erangan Mini tapi tidak kuhiraukan.
“Ok gue tinggal dulu, gue laper mo makan”, kataku dengan senyuman sambil memasangkan 2 jepitan tersisa di daun telinganya, langsung terlihat Mini berusaha melepasnya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya tapi percuma karena jepitannya cukup kuat.
Maka tinggalah Mini sendirian, karena aku sudah pergi untuk melihat-lihat “lokasi” berikutnya, lalu aku benar-benar pergi membeli makan tak jauh dari situ ada tempat makan nasi campur yang sudah jadi langgananku meskipun aku tidak kuliah di daerah tersebut. Tak terasa aku sudah makan dan nonton TV, serasa pemilik rumah tersebut hingga sudah 1 jam lebih aku meninggalkan Mini. Sebenarnya aku bisa saja berbuat jahat, tapi jika aku hanya ingin kesenangan materi, aku sudah berkecukupan. Kutengok Mini yang sudah bersimbah keringat semua baju senamnya sudah basah. Pertama kulepaas jepitan-jepitan yang terpasang.
“Aarrgg.. Hh..”, desah Mini karena aliran darahnya berjalan lagi.
Mini terlihat pucat, lemah sekali kehabisan tenaga karena “upacara” tadi. Kulepaskan juga ikatan pada bambu tapi tali shibari yang mengelilingi tubuhnya tak kulepas malah kutekukkan pergelangan tangan Mini ke bagian belakang dan kuikat, dadanya makin menonjol. Sebenarnya aku cukup prihatin karena walau tak kuikatpun Mini sudah pasrah dan tidak akan kabur. Aku tanya padanya,
“Lo masih kuat gak?”, sambil kulepas ball gag yang menyisakan garis merah di pipinya.
“Gak papa kok gue cuma cape aja”, jawabnya sambil tersenyum kecil.
Kemudian kupapah dirinya ke kamarnya lalu kusuapi makan dan minum dengan kondisi tangan masih terikat.
“Sudah siap untuk selanjutnya?”, tanyaku setelah memberinya waktu istirahat setengah jam yang Mini lewatkan untuk rebahan di tempat tidurnya.
“Ok”, jawabnya lemah.
Lalu akupun mulai membuka semua ikatan yang ada di tubuh Mini. Meskipun aku sudah tidak tahan ingin ML dengan Mini aku masih kasihan melihat keadannya. Akupun memandikannya sambil meraba-raba sekujur tubuhnya dan membincangkan apa yang diinginkan Mini untuk permainan berikutnya. Jam telah menunjukkan pukul 7 malam saat aku mengajak Mini makan keluar, minipun menyetujuinya dan Mini tidak kuperbolehkan memakai pakaian dalam baik bra ataupun CD, sebelum Mini menjawab, aku sudah memainkan lidahku di puting susunya yang mulai menegak dan terdengar desahan Mini.
“Lo boleh ikut tapi kukenakan ini ya”, kataku sambil mengambil rantai kecil dengan jepitan berskrup di kotak peralatan BDSM Mini.
Kukenakan di sebelah putingnya yang telah menonjol lama, lalu kukencangkan skrupnya sehingga aku yakin tidak akan lepas, tidak hanya itu, aku juga mulai foreplay di selangkangan Mini dengan lidah hingga cukup membuat Mini terangsang dan hampir orgasme karena kumainkan jemariku juga di kemaluannya. Aku berhenti tapi Mini merengek dan kukatakan agar bersabar, sambil tersenyum dan mengambil dildo berbentuk kapsul yang biasa ada di film jepang dengan kekuatan 2 batere kecil.
“Gue pakein ini juga OK”, ujarku sambil memasukkan dildo itu dalam vaginanya yang sudah basah sehingga mudah dimasuki.
Terakhir kuambil tali dan merapatkan Mini dan mengikat paha atasnya sehingga mainanku akan tetap berada di dalam kemaluan Mini. Aku lalu mengambil rok hitam ketat sebatas lutut untuk menutupi badan bawah Mini, aku tertawa kecil ketika aku menyuruh Mini berjalan bak artis melenggok di cat walk, karena Mini harus menyilangkan kakinya akibat ikatan tadi.
“Sip.. Deh OK kita pergi”, ajakku sambil kukenakan jaket bulu untuk menutupi badan Mini yang hanya dihiasi rantai.
Kami keluar dengan motorku. Sebelum berjalan, aku menyalakan switch on pada mainan yang “tertanam” tadi sehingga bergetar dan membuat Mini kehilangan tenaga. Di sepanjang jalan Mini memelukku dengan tangan yang tidak berhenti meremas-remas jaket aku.
“Dah mulai basah ya? Ga tahan ya?”, godaku. Mini tidak menjawab.
Tak lama kemudian kami berhenti di tukang jagung bakar di daerah Dago dan memesan makanan dan minuman. Kulihat Mini agak salah tingkah dan seperti maling takut ketahuan polisi, banyak gerakannya yang tidak lazim dan aku mengingatkannya sambil memeluknya.
“Anter gue beli pulsa ya di BEC”, suatu tempat elektronik di Bandung, pintaku.
Mini hanya mengiyakan dan aku sengaja membawa jalan-jalan karena aku tahu bahwa semakin banyak gerakan maka Mini makin terangsang jadinya. Mini berusaha bertindak sebiasa mungkin. Perlu diketahui pacarku masih pulang kampung dan aku sudah biasa jalan dengan cewe-cewe sehingga tidak takut kalau kepergok teman. Minipun karena baru masuk kuliah dia belum punya banyak teman dan dia bukan asli orang Bandung.
Pendek cerita kami berdua sudah sampai di tempat kos seks Mini lagi dan aku segera membuka jepitan di putingnya dan mengeluarkan dildo yang sudah basah. Kami berdua tidak tahan lagi hingga langsung saja kami melakukan ML dan setelah setengah jam aku mengeluarkan sperma di kondom, Kemudian dilepasnya kondom tersebut dan kusuruh Mini yang sudah terkulai lemas mengisap-isap kemaluanku.
“Aarrgg.. ngghh”, erangku keenakan karena baru pertama kali mengalaminya, biasanya hanya “ngocok” di kamar .
Aku menggapai tasku dan kuambil lilin yang tadi kubeli, dan menanyakan..
“Pake ini kuat gak?”
“Boleh dicoba tuch”, jawabnya dengan nada menantang hingga cukup membuatku bersemangat kembali.
Tanpa ragu aku kembali dengan membawa tambang berwarna merah, dan mulai dengan mengikat kedua tangan Mini di belakang punggungnya hingga ke siku, terus ke depan tubuh hingga membentuk “breast-bondage” yang ketat. Lalu kurebahkan Mini menungging di lantai, dan siksaan dimulai dengan mencambuki Mini dengan cambuk kulit, tapi tidak terlalu keras dan hanya bertujuan merangsangnya. Kemudian tubuhnya kubalik telentang. Pergelangan kaki kirinya diikat menyatu dengan pangkal paha, yang kemudian ditambatkan ke pinggir ruangan, sedangkan ikatan pada pergelangan kaki kanan ditambatkan ke atas, sehingga bagai sedang memamerkan vaginanya.
Kembali kucambuki tubuhnya dalam posisi begini. Mini mengerang keras dan meronta-ronta tapi ikatanku cukup kuat untuk dilawan seorang cewe hingga akhirnya Mini hanya bisa pasrah. Selanjutnya tubuh Mini kuikat dengan model “shibari”, di atas bondage-bra, sehingga payudaranya tampak menonjol. Dengan kedua tangannya yang terikat ke belakang, dia hanya bisa pasrah menerima cambukan bertubi-tubi pada kedua payudaranya. Begitu juga ketika kedua tonjolan itu masing-masing kujepit dengan penjepit jemuran berukuran besar. Kembali ujung-ujung cambuk mendarat ke arah perut dan payudaranya. Mini menjerit-jerit kesakitan, namun aku tetap tidak peduli dan terus mengayunkan cambuk, karena aku yakin dia juga menikmatinya walau sulit dijelaskan dari wajahnya di balik rasa sakitnya.
Kini pada ronde berikutnya aku membaringkan Mini di tengah ruangan, lalu aku berjalan mengitarinya dan mengambil semacam minyak untuk dioleskan ke sepasang payudaranya. Kemudian tetesan-tetesan lilin panas jatuh menimpa puting dan seluruh daerah payudaranya. Tubuhnya meronta-ronta berkelojotan menahan panas dan rasa nyeri. Setelah itu lapisan lilin itu kukelupas sehingga menghasilkan bentuk gundukan menyerupai payudaranya.
Tak tahan mendengar rintihan dan erangan Mini ditambah melihat gerakan Mini, “adik”-ku bangkit kembali dan kulepaskan ikatan tangan dan kaki Mini lalu kuambil dildo berbentuk kemaluan pria berukuran sedang dan kembali kusuruh Mini untuk menghisap penis (blow-job) aku. Sebelumnya aku sudah memasangkan dildo ke anusnya dan kemudian meneteskan lilin panas ke pinggulnya. Rangsangan dildo dan panasnya lilin membuat Mini kian agresif melakukan blow-job nya.
Akhirnya aku mengeluarkan “lahar seks panas”-ku untuk kedua kalinya. Aku merebahkan Mini di ranjangnya dan tak terasa kami tertidur pulas karena kecapean, untung saja pada saat pulang dari BEC tadi kami sudah mengunci rapat semua pintu dan jendela. Jam telah menunjukan pukul 5 dini hari. Mini masih tertidur pulas. Aku mengingat kejadian semalam sambil menyiapkan mie instant untuk sarapan pagi lalu setelah siap kubangunkan Mini, lalu kami makan sambil mengobrol di ruang makan.
“Gimana semalem?”, tanyaku.
“Gila lo puting gue masih sakit gara-gara lilin, tanggung jawab lo”, jawabnya sambil tersenyum.
Dari air mukanya aku tahu bahwa Mini menikmatinya. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, lalu aku mengajak Mini mandi bersama tapi tentu saja tak lepas dari aktifitas BDSM kesukaan kami berdua. Mini mulai kuikat bersujud di kamar mandi dan lalu kusuntikkan cairan ke dalam anusnya dengan menggunakan suntikan besar. Tidak puas dengan suntikan, aku memasukkannya dengan menggunakan selang infus.
Setelah 1 liter air di tabung habis, tabung kembali kuisi penuh dan terus dialirkan memasuki anusnya. Mini menggeliat tanpa daya menahan rasa mual akibat air yang menyesakkan tersebut. Setelah berliter-liter air memasuki tubuhnya, selang kulepas. Karena sudah penuh, maka air itu memancur kembali keluar dari anusnya. Demikian kulakukan terus berulang-ulang, hingga akhirnya yang keluar bukan lagi hanya air bening memek, namun sudah bercampur dengan kotorannya. Aku sedikit merasa jijik tapi segera kubersihkan dan kutaruh badan Mini yang masih terikat di dalam bath-tub dan mulai merendamnya. Selama itu aku mandi dan menyiapkan diriku sendiri untuk acara selanjutnya. Setelah selesai, Mini kulepaskan ikatannya dan kusuruh untuk bersiap-siap juga.
Mini keluar dari kamar mandi dengan handuknya dan akan menuju kamarnya untuk berpakaian, tapi aku melarangnya dan langsung berkata bahwa aku akan pergi dan aku ingin memajang dirinya dalam posisi bondage yang lain. Mini bertanya aku akan pergi kemana, karena dia takut kalau aku kabur, tapi aku memberi jaminan dan janji bahwa aku akan balik lagi, maka Mini pun pasrah mau menerima siksaan berikutnya.
Kini Mini terbaring di lantai. Kedua tangannya kuikat terpisah masing-masing ke arah bawah, sedangkan kedua kakinya juga kuikat terpisah, namun masing-masing ke atas kepala, sehingga tubuhnya tertekuk sedemikian rupa dengan pinggul di udara, dan kedua lutut mengapit kepalanya. Dalam posisi seperti ini, dia bagaikan sedang memamerkan lubang duburnya yang menengadah ke udara. Tentu saja kondisi ini menimbulkan rasa pegal yang luar biasa.
Tak lupa aku memasangkan ball gag di mulutnya dan kutaruh mangkuk untuk menampung air liur yang keluar dari mulutnya. Pergilah aku dan kukunci pintu kamarnya dan rumah kos itu untuk beberapa saat. Aku cukup khawatir meninggalkan Mini sendirian dengan posisi tersebut, untung saja teman yang berjanji akan menemuiku membatalkan dan aku langsung meluncur ke tempat kos Mini kembali dan itu juga sudah hampir 1 jam sejak kutinggalkan Mini.
Aku langsung membuka ikatan yang menyebabkan tubuhnya sudah mulai membiru dan air liurnya sudah sebanyak setengah mangkuk lebih. Mini menangis dan tidak mau ditinggal olehku lagi. Aku tidak bisa berbicara lagi selain memeluknya. Kami mengamati garis-garis yang tampak jelas di badan Mini dan kami pun terbaring di ranjang kos sambil berbincang-bincang seputar bdsm yang telah dan akan kami lakukan.